Di
senja merah merona, sesudah puas berenang di pantai Sadranan,
Gunungkidul, Jogja, saya dan anak menuju bilik2 tempat bilas. Badan dan
baju kami basah, pasir menempel di mana2.
Di bilik2 itu ada tulisan semacam "Bilas Rp 2000, Mbah Sugeng". Saya menoleh ke kanan, terlihat seorang bapak tua duduk di luar sebuah rumah sederhana. "Hmm, mungkin itu Mbah Sugeng." gumamku.
Biliknya cukup bersih, airnya lancar bening. Kelihatan kalau ada yang merawat. Selesai bilas saya hampiri bapak itu.
"Mbah Sugeng?" sapaku.
"Iya Mas." jawabnya.
"Bilas dua orang, Pak." kataku sambil menyiapkan uang.
"Bilas pakai mandi?" tanyanya.
"Enggak Pak, cuma cuci tangan dan kaki." jawabku.
"Oh, kalau cuma itu TIDAK USAH BAYAR." sergahnya sambil tersenyum.
Saya terperangah. Kata2 lembut itu bertenaga menghentak seperti halilintar. Sedetik kemudian saya merasakan sunyi yang sesenyap-senyapnya. Tak terdengar lagi deburan ombak pantai selatan. Menggigil jiwaku. Angin laut berhenti berhembus.
Hatiku berbisik lirih "Kok ada orang seperti beliau, yang JUJUR dan TIDAK RAKUS akan duniawi. Melakukan kebaikan pada orang lain tapi tidak meminta imbalan apa2. Apa yang membuat dia melakukan itu?"
Saya sebelumnya hanya menyiapkan ongkos bilas + sedikit tambahan. Tidak tahu mengapa, tapi melihat keikhlasan itu, ada sesuatu yang membuat saya MELIPATGANDAKAN imbalan buat Mbah Sugeng. "Ini Mbah dari saya." kataku agak gemetar. "Terima kasih, Mas." balasnya sambil menatapku tulus.
Pelan2 kurasakan belaian angin sore di rambut basahku. Pasir meraba lembut jemari kakiku ketika aku mengayun langkah kembali ke mobil. "Mbah Sugeng, mungkin anda tidak akan ingat saya. Tapi saya tidak akan pernah lupa akan panjenengan dan pelajaran hari ini tentang kehidupan." bisikku pelan kepada angin.
Cerita: ~anonim~
Foto Mbah Sugeng dan rumahnya: Tarie Wurjantoro
— bersama Fajar Dwi Putra dan Anam Ak.
Di bilik2 itu ada tulisan semacam "Bilas Rp 2000, Mbah Sugeng". Saya menoleh ke kanan, terlihat seorang bapak tua duduk di luar sebuah rumah sederhana. "Hmm, mungkin itu Mbah Sugeng." gumamku.
Biliknya cukup bersih, airnya lancar bening. Kelihatan kalau ada yang merawat. Selesai bilas saya hampiri bapak itu.
"Mbah Sugeng?" sapaku.
"Iya Mas." jawabnya.
"Bilas dua orang, Pak." kataku sambil menyiapkan uang.
"Bilas pakai mandi?" tanyanya.
"Enggak Pak, cuma cuci tangan dan kaki." jawabku.
"Oh, kalau cuma itu TIDAK USAH BAYAR." sergahnya sambil tersenyum.
Saya terperangah. Kata2 lembut itu bertenaga menghentak seperti halilintar. Sedetik kemudian saya merasakan sunyi yang sesenyap-senyapnya. Tak terdengar lagi deburan ombak pantai selatan. Menggigil jiwaku. Angin laut berhenti berhembus.
Hatiku berbisik lirih "Kok ada orang seperti beliau, yang JUJUR dan TIDAK RAKUS akan duniawi. Melakukan kebaikan pada orang lain tapi tidak meminta imbalan apa2. Apa yang membuat dia melakukan itu?"
Saya sebelumnya hanya menyiapkan ongkos bilas + sedikit tambahan. Tidak tahu mengapa, tapi melihat keikhlasan itu, ada sesuatu yang membuat saya MELIPATGANDAKAN imbalan buat Mbah Sugeng. "Ini Mbah dari saya." kataku agak gemetar. "Terima kasih, Mas." balasnya sambil menatapku tulus.
Pelan2 kurasakan belaian angin sore di rambut basahku. Pasir meraba lembut jemari kakiku ketika aku mengayun langkah kembali ke mobil. "Mbah Sugeng, mungkin anda tidak akan ingat saya. Tapi saya tidak akan pernah lupa akan panjenengan dan pelajaran hari ini tentang kehidupan." bisikku pelan kepada angin.
Cerita: ~anonim~
Foto Mbah Sugeng dan rumahnya: Tarie Wurjantoro